KASONGAN – Pengelolaan desa wisata yang baik dan profesional akan menggerakkan sadar wisata dan sapta pesona.
Dimana sapta pesona, diarahkan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata, meliputi 7 unsur yakni aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan.
Sedangkan sadar wisata didefinisikan sebagai konsep partisipatif seluruh komponen masyarakat. Jika itu mewujud, diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, karena ekonominya meningkat pula berkat terciptanya iklim kondusif di sektor pariwisata.
Hingga saat ini ada 3 lembaga yang mengelola desa wisata yakni Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), dan Koperasi. Bisa ketiganya berkolaborasi, di beberapa desa wisata, dikelola salah satunya.
“Pokdarwis fungsinya sebagai penggerak sadar wisata dan sapta pesona. Dan juga menjadi mitra bagi pemerintah untuk mewujudkan dan mengembangkan sadar wisata,” ungkap Sekretaris Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Katingan Ramang.
Hal itu dikemukakannya saat memberikan arahan kepada peserta Pelatihan Pengelolaan destinasi wisata.
Memajukan desa wisata akan menggerakkan perekonomian di desa. Lapangan kerja baru akan terbuka luas, disertai kesempatan kerja yang lebih banyak bagi masyarakat.
Namun, tanggung jawab memajukan dan mengembangkan kepariwisataan bukan semata dibebankan kepada pengelola.
Masyarakat justru punya peranan penting mengokohkan kesadaran, bahwa potensi pariwisata adalah peluang besar untuk dijual. Pengelola desa wisata berkontribusi membangun pola pikir masyarakat sadar wisata.
“Masyarakat harus dibuka mindset-nya. Kemajuan kepariwisataan khususnya di desa wisata, sangat ditentukan peran teman-teman sebagai pengelola,” tegasnya.
Lanjut dikatakan, menjadi pengelola profesional dibutuhkan 4 hal. Pertama planning (perencanaan), dengan konsep perencanaan yang matang.
Lalu organizing (pengorganisasian), konsep yang disusun dikelola dengan metode yang terarah dan terukur. Actuating (menggerakkan), pengelola desa wisata tidak berpuas dengan perencanaan, tapi merealisasikannya menjadi aksi nyata.
Terakhir, mesti ada controlling (mengendalikan). Secara berulang dan berputar, evaluasi yang menyatakan kurang maksimalnya hasil yang dicapai, serta merta harus kembali mengoreksi langkah awal di tahap perencanaan.
“Unsur satu ini, kerap mengganggu proses, jadi harus ada komitmen yang dimulai diwujudkan di awal supaya ‘happy ending’. Para pengelola wajib memiliki komitmen,” pungkasnya.
Komitmen itu bisa mewujud jika tiap personal bangga dengan organisasi yang menaunginya. Kebanggaan itu membawanya berusaha semaksimal mungkin, mengelola kemampuannya demi kemajuan organisasinya, karena tunduk pada ketentuan yang digariskan.
Dia berharap melalui pelatihan yang digelar dari tanggal 7-9 November 2022 tersebut, seluruh komponen itu turut andil mengembangkan desa wisata. Tonggaknya, dengan menyatukan persepsi bahwa desa wisata bukanlah untuk meraih Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) saja.
Namun lebih kepada mendalami potensi apa yang bisa dikembangkan dengan meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) para pengelola. Sehingga akan menjadi agen terhadap tradisi budaya, pariwisata, dan ekonomi kreatif.
(Kawit)