Sampit, 28 Maret 2020, (dini hari dalam keramaian sunyi)
Oleh : Cak Ipan Tagem/Tjangkir Boedaja
Tepat sebelas hari jiwaku kembali berkunjung
ke pusara peradaban,
Berniat khidmat membaca reruntuhan makammu
yang kini sedikit menyisakan hening dalam lubang sejarah
Kami yang di sini mempersiapkan sendiri kematian kami,
agar nantinya kami disangka makhluk religi.
Waktu turut menggumpal lebam dalam kerumunan pertanyaan
yang langsung dijawab oleh dirinya sendiri.
Ruang lebar menyempit dan mengecil sekecil biji sawi
bahkan lebih kecil lagi.
Ruang mengecil menjadi sekecil jasad renik
yang dikawal jasad renik lainnya.
Bergerak memutar cepat, lebih cepat dari baling baling
untuk mencari keseimbangan baru dari semesta.
Batin pun turut menyaksikan raga ku
yang gemetar dan terguncang guncang
di tengah tenaga pusaran menuju harmoni yang entah kapan sampai.
Malamku menyaksikan doa doa berterbangan menembus semua cakrawala
yang dimungkinkan terbayangkan dan ada.
Seakan berputar melewati garis garis kemungkinan semesta
di mana Sang Maha Awal dan Sang Maha Akhir bersemayam.
Langit juga bumi sedang berdialog dengan doa doa
tentang apa yang sebaiknya,
apa yang setepatnya,
dan apa yang sebenarnya telah,
sedang dan akan terjadi…
Menyorong kesaksian hati,
agar doa doa itu melebur dan menyerah
kepada Yang Maha Berkehendak…
sampai jiwa kami sanggup mengintip
“Pertemuan antara pencari dan yang dicari”
Setidaknya kami terlalu waras, hingga tak mundur selajur dubur
memesrahi keheningan kudus di peziarahan ini.
“Jiangkrik, keheningan apakah ini ?
serasa membuat imaji membacai kembali
apa yang ada di reruntuhan pusara sejarah
yang hampir mirip lubang kakus ini”
menyeret lelehan-lelehan tubuhku dari sisa-sisa onani sebuah peradaban
yang baru sebelas hari lalu mengkultuskan waktu
ke tempat-tempat; dimana, orang-orang tak lagi menyapa
dengan bibir anyir
barangkali ibu bumi juga menitip tanya,
ya, tanya tentang apa yang bisa aku baca dari reruntuhan sunyi
elegi pagi yang bermuara di cangkir kopi mirip lubang kakus ini.
(jun/beritasampit)